“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33) * Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".(QS Yusuf: 108)

Cari Blog Ini

Kamis, 11 Juli 2024

Prinsip Jahiliyah: Sesuatu itu Batil Jika Orang-orang Lemah Mengerjakannya Lebih Dahulu

Catatan Faidah (18):
Prinsip Jahiliyah: Sesuatu itu Batil Jika Orang-orang Lemah Mengerjakannya Lebih Dahulu

Orang-orang Jahiliyah beranggapan  bahwa sesuatu itu batil jika dikerjakan terlebih dahulu oleh orang-orang rendahan. 
Allah ta'ala berfirman tentang ucapan mereka:
 لَوۡ كَانَ خَیۡرࣰا مَّا سَبَقُونَاۤ إِلَیۡهِۚ 

"Sekiranya Al-Qur`ān itu sesuatu yang baik, tentu mereka tiada pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” [Surat Al-Ahqaf: 11]

Orang-orang musyrik Jahiliyah dahulu berkata: "Kami ini orang berpengetahuan, berpengalaman, intelek, dan kami mengetahui banyak permasalahan. Menurut kami, ajaran yang dibawa oleh Muhammad ( -shallallahu 'alaihi wa sallam-) ini tidaklah benar sehingga kami pun meninggalkannya. Seandainya ajaran dia ini benar niscaya kami akan lebih dahulu mengikutinya. Kami tidak tidak mengerjakannya menunjukkan ajaran itu tidak benar".

Ini adalah puncak kebatilan karena pengikut kebenaran tidaklah terbatas pada kelas sosial tertentu. Bahkan menjadi pengikut kebenaran adalah anugerah Allah dan taufiqNya yang Dia berikan kepada siapa pun dari hamba yang dikehendakiNya. Justru pengikut para Rasul kebanyakannya adalah orang-orang yang lemah. Sebagaimana firman Allah ta'ala: 

{ ۞ قَالُوۤا۟ أَنُؤۡمِنُ لَكَ وَٱتَّبَعَكَ ٱلۡأَرۡذَلُونَ }

Mereka berkata, "Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?”
[Surat Asy-Syu'ara: 111]

{  وَمَا نَرَىٰكَ ٱتَّبَعَكَ إِلَّا ٱلَّذِینَ هُمۡ أَرَاذِلُنَا بَادِیَ ٱلرَّأۡیِ }
"...dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya..."
[Surat Hud: 27]
Yaitu orang-orang bodoh. Mereka menganggap bahwa merekalah orang-orang yang berwawasan dan brilian. Seandainya yang dibawa Nuh 'alaihis salam adalah kebenaran maka para pengikutnya adalah para cerdik pandai dan orang-orang terhormat di kalangan mereka. Ini adalah anggapan yang sesat. Sebab, pada umumnya, orang yang mengingkari kebenaran adalah orang-orang yang hidupnya mewah. Sebagaimana firman Allah ta'ala: 
{ وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا فِی قَرۡیَةࣲ مِّن نَّذِیرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَاۤ إِنَّا بِمَاۤ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَـٰفِرُونَ }
Dan setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, "Kami benar-benar mengingkari apa yang kamu sampaikan sebagai utusan.”
[Surat Saba': 34]

Dan umumnya pengikut kebenaran adalah orang-orang yang status sosialnya rendah dan fakir karena mereka tidak punya kesombongan.
Mengukur kebenaran sesuatu karena pengikutnya adalah orang-orang kaya atau yang punya kedudukan dan mengukur kebatilan karena pengikutnya adalah orang-orang yang status sosialnya rendahan adalah cara pandang orang-orang Jahiliyah. Tidak boleh kita jadikan ini sebagai patokan untuk menimbang kebenaran dan kesesatan. Oleh karenanya ulama berkata:
"Kebenaran tidaklah diukur dari orang-orangnya, namun status orang-orang itu bisa diketahui dengan kebenaran".

Disarikan dari Syarah Masail Jahiliyah Syaikh Fauzan hafidzahullah.

Catatan Faidah (17):Tidak Mau Mengikuti Kebenaran Jika Ada Orang-orang Lemah Yang Mendahuluinya

Catatan Faidah (17):
Tidak Mau Mengikuti Kebenaran Jika Ada Orang-orang Lemah Yang Mendahuluinya

Orang kafir Jahiliyah dahulu tidak mau mengikuti kebenaran jika ada orang-orang lemah yang lebih dahulu mengikutinya karena sombong dan gengsi. Maka Allah menurunkan firmanNya:
{ وَلَا تَطۡرُدِ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ رَبَّهُم }
"Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya" [Surat Al-An'am: 52]

Orang-orang Jahiliyah menolak kebenaran jika ada orang-orang yang dianggap remeh mengikutinya. Oleh karenanya mereka berkata:
{ أَهَـٰۤؤُلَاۤءِ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَیۡهِم مِّنۢ بَیۡنِنَاۤۗ }
"Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?”
[Surat Al-An'am: 53]

Maksudnya: mereka tidak lebih layak mendapatkan surga dari pada kita, kita lebih utama dan lebih mulia dari pada mereka. Adapun mereka adalah orang-orang remeh yang tidak punya nilai di tengah masyarakat. 

Allah membantah perkataan mereka tersebut:
{ أَلَیۡسَ ٱللَّهُ بِأَعۡلَمَ بِٱلشَّـٰكِرِینَ }
"Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur' "
[Surat Al-An'am: 53]

Sesungguhnya Allah 'Azza wa jalla tidaklah memberikan agama ini kecuali untuk orang yang Allah cintai. Adapun dunia, maka diberikan kepada kekasih Allah dan juga diberikan kepada para musuhNya.

Kamis, 04 Juli 2024

Catatan Faidah 16:TERTIPU DENGAN DUNIA

Catatan Faidah 16:
TERTIPU DENGAN DUNIA

Orang-orang kafir Jahiliyah dahulu punya mindset, bahwa orang yang Allah berikan dunia kepadanya menunjukkan ridha Allah kepadanya. Sebagaimana firman Allah tentang perkataan mereka:
{ وَقَالُوا۟ نَحۡنُ أَكۡثَرُ أَمۡوَ ٰ⁠لࣰا وَأَوۡلَـٰدࣰا وَمَا نَحۡنُ بِمُعَذَّبِینَ }
Dan mereka berkata, "Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab.”
[Surat Saba': 35]

Padahal banyaknya harta, anak, dan kemakmuran bukanlah pertanda cinta Allah kepada hamba. Bahkan terkadang Allah memberikannya kepada orang kafir sebagai istidraj. 
Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda:
إن الله يعطي الدنيا من يحب و من لا يحب، و أما الدين فلا يعطيه إلا من يحب
"Sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada orang yang Allah cintai dan tidak Allah cintai. Ada pun agama ini hanya Allah berikan hanya kepada orang yang Allah cintai" (HR At Tirmidzi. Dishahihkan syaikh Al Albany dalam Shahih Jami')

Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- orang yang paling mulia di sisi Allah, demikian pula para shahabat, mereka juga mengalami kelaparan, tertimpa kefakiran dan kemiskinan. Padahal para shahabat ini adalah manusia yang paling mulia setelah para nabi. Sedangkan orang-orang kafir mendapatkan kelapangan dunia dan kegembiraan dengan berbagai kenikmatan sebagai istidraj bagi mereka.

Oleh karenanya, kemewahan dunia bukanlah barometer kemuliaan hamba di sisi Allah Subhanahu wa ta'ala. Adapun yang dijadikan indikator kemuliaan hamba di sisi Allah jika hamba tersebut melakukan amal shalih, baik dia kaya maupun miskin. Inilah ukuran kemuliaan di sisi Allah.

Ada pun dari sudut pandang manusia bahwa orang yang mendapatkan limpahan dunia dan kekayaan serta kemakmuran mereka inilah yang memiliki kemuliaan di sisi Allah, sedangkan orang fakir dan melarat merekalah orang yang hina di sisi Allah.

Dinukil dari Syarah Masail Jahiliyyah syaikh Fauzan hafidzahullah.

Catatan Faidah 15: MENAHAN DIRI KETIKA MARAH

Catatan Faidah (15):
MENAHAN DIRI KETIKA MARAH

Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ الشَّدِيدُ بالصُّرَعَةِ؛ إِنَّمَا الشَدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ»[1]؛ متفق عليه.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Orang yang kuat itu bukanlah yang jago bergulat, akan tetapi orang yang kuat itu adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah" (Muttafaqun 'alaih)

Dalam riwayat yang lain:
وعن سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ جالِسًا مَعَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلَانِ يَسْتَبَّانِ، وَأَحَدُهُمَا قدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ، وانْتَفَخَتْ أوْدَاجُهُ، فَقَالَ رَسُول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ باللهِ مِنَ الشَّيطَانِ الرَّجِيمِ، ذَهَبَ مِنْهُ مَا يَجِدُ»، فَقَالُوا لَهُ: إِنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «تَعَوَّذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيطَانِ الرَّجِيمِ»[2]؛ متفق عليه.
"Dari Sulaiman bin Shurod radhiyallahu 'anhu berkata: Kami pernah duduk-duduk bersama Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- dan ada dua orang yang sedang bercekcok. Salah seorang darinya memerah mukanya dan naik darah. Maka Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Sesungguhnya aku tahu ada satu kalimat yang seandainya dia mau mengucapkannya, niscaya akan sirna apa yg dia alami. Seandainya dia mau mengucap: A'udzu billahi minasy syaithonir rojim (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk) niscaya sirna apa yang dia alami"
Maka para shahabat pun berkata kepadanya: Sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- memerintahkan: Minta perlindunganlah dari setan yang terkutuk". (Muttafaqun alaih) 
 
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh berkata: "Kedua hadits yang disebutkan oleh penulis (riyadhus Shalihin) ini tentang marah. Amarah adalah potongan bara api yang dilemparkan oleh setan ke hati manusia sehingga berkobarlah kemarahannya, menjadi naik darah, memerah mukanya, terkadang berkata-kata dengan tanpa berpikir dan bertindak dengan tindakan yang tidak masuk akal".

Oleh karenanya, Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas menjelaskan bahwa petarung yang kuat itu bukanlah yang berhasil melumpuhkan lawan-lawannya, tetapi orang yang kuat itu adalah yang mampu mengendalikan dirinya sewaktu marah. Kemarahan pada hakekatnya adalah dari setan. Jika dia tidak mampu mengendalikan dirinya saat marah, maka setanlah yang menyetir dirinya. Sehingga tidak heran ketika marah dan lepas kontrol terkadang seseorang melakukan hal-hal di luar nalar. 

Ada yang karena marah ada yang memukul anaknya, bahkan sampai meninggal. Ada yang meluapkan kemarahannya pada barang-barang dan harta bendanya, dirusak atau pun dibakar. Ada yang memukuli istrinya hingga cidera dll.
Bahkan, seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara ketika dia sedang marah karena bisa jadi karena kemarahannya dia tidak bisa melihat permasalahan dengan jernih sehingga keputusannya dipengaruhi amarahnya yang berakibat dia memutuskan perkara tanpa haq sehingga berakibat mendzalimi manusia.

Hadits ini memotivasi kita agar kita bisa menahan diri dan tetap bisa self control ketika sedang dihinggapi amarah. Sebab, akhir dari kemarahan adalah penyesalan.

Sedangkan hadits kedua, hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Sulaiman bin Surad

adalah petunjuk Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- kepada seseorang ketika marah yaitu dengan meminta perlindungan diri kepada Allah. Orang yang sedang marah disyariatkan agar menahan dirinya, bersabar, dan memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Disyariatkan juga bagi orang yang sedang marah untuk berwudhu. Jika sedang berdiri hendaknya duduk. Jika dia duduk hendaknya berbaring. Jika khawatir melakukan hal-hal yang memudharatkan hendaknya dia pergi ke tempat lain agar mereda kemarahannya dan dia tidak melakukan hal-hal tercela yang berakhir dengan penyesalan.

Allahu muwaffiq.
 

Kamis, 27 Juni 2024

Catatan Faidah (14):BAHAYA HASAD

Catatan Faidah (14):
BAHAYA HASAD

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إياكم والحسد؛ فإنَّ الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النارُ الحطبَ (أخرجه أبو داود)
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Hati-hatilah kalian dari sifat hasad, sesungguhnya hasad memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar" (Dikeluarkan oleh Abu Dawud)

Hasad yaitu mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, baik nikmat dunia maupun nikmat Diniyyah (terkait agama), baik menginginkan nikmat itu berpindah kepadanya atau kepada orang lain.

Hasad adalah penyakit hati yang berbahaya. Jika hasad tersebut terwujud dengan tindakan, baik perkataan atau pun perbuatan yang menyakiti orang yang dihasadi maka orang ini telah menyatukan antara hasad dan kedzaliman.

Hasad terbagi dua, hasad yang terpuji dan tercela. 
Hasad yang terpuji adalah menginginkan nikmat seperti yang ada orang lain tanpa berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Ini yang disebut ghibthah.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه الله مالا، فسلطه على هلكته في الحق؛ ورجل آتاه الله حكمة، فهو يقضي بها ويعلمها
"Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang: Seseorang yang Allah berikan harta kepadanya lalu dia kuasai harta itu untuk sesuatu yang haq. Dan Seseorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) kepadanya lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya" (HR Bukhari dan Muslim) 

Adapun hasad yang tercela adalah hasad yang disebutkan secara mutlak sebagai tindakan tercela, yaitu menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain, agar nikmat itu berpindah kepadanya atau ke orang lainnya.
Allah telah melarang hasad jenis ini dalam firmanNya:
{ وَلَا تَتَمَنَّوۡا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضࣲۚ لِّلرِّجَالِ نَصِیبࣱ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُوا۟ۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِیبࣱ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسۡـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦۤۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَیۡءٍ عَلِیمࣰا }

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
[Surat An-Nisa': 32]

Bagaimana mengobati hasad ini? Yaitu dengan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi hasad ini, bermujahadah melawan jiwanya yang terjangkiti hasad, menyebutkan kebaikan saudaranya yang dihasadi, mendoakannya, dan mengucapkan "ma syaa Allah, La quwwata illa billah".  Dengan demikian dia tidak akan bertindak dzalim terhadap saudaranya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Jika dia mampu mengalahkan perasaan hasadnya dan tidak sampai terwujud pada tindakan yang memudharatkan orang yang dihasadi, maka Allah memaafkannya.
Allahu a'lam

Dirangkum dari berbagai sumber.

Selasa, 25 Juni 2024

Catatan Faidah (13):KEUTAMAAN SHALAT WAJIB 5 WAKTU

Catatan Faidah (13):
KEUTAMAAN SHALAT WAJIB 5 WAKTU 

Shalat adalah ibadah yang agung dan dicintai Allah, merupakan rukun Islam yang kedua setelah Syahadatain. Shalat merupakan sarana seorang hamba bermunajat kepada Allah, Rabb alam semesta. 

Wajib bagi kita menghadirkan hati ketika mengerjakan ibadah ini agar sempurna Shalat kita dan mendapatkan manfaat dari shalat tersebut. Sebab, manfaat Shalat hanya didapatkan dari shalat yang dikerjakan dengan sempurna.

Oleh karenanya, kita membaca firman Allah ta'ala: 

{  وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَاۤءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ }

"Tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat ini mencegah perbuatan keji dan mungkar"
[Surat Al-Ankabut: 45]

Namun demikian, ada orang yang shalat namun tidak tergerak hatinya untuk mengingkari kemungkaran atau mengenal hal yang ma'ruf. Dia tidak mendapatkan manfaat dari shalat yang dia kerjakan. Sebab, shalatnya tidak sempurna.

Shalat adalah rukun islam terbesar setelah syahadatain. Allah ta'ala telah mewajibkan shalat ini kepada Nabi kita -shallallahu 'alaihi wa sallam- secara langsung tanpa perantara beda dengan ibadah-ibadah lainnya. Perintah shalat diterima langsung di tempat yang tertinggi, dari langit ke tujuh, pada malam yang mulia yaitu malam saat Mi'raj, dan diwajibkan 50 shalat dalam sehari semalam yang menunjukkan kecintaan Rabb kita kepada ibadah ini. Namun kemudian dengan kemurahan Allah ta'ala, kewajiban shalat menjadi 5 waktu sehari semalam dengan pahala menyamai shalat yang 50 kali.
Allahu a'lam.

Faidah dari Syarah Riyadhus Shalihin oleh Syaikh Utsaimin rahimahulloh. 

Catatan Faidah (12):KALIMAT TAUHID ﻻإله إﻻالله SENANTIASA ADA PADA ANAK KETURUNAN NABI IBRAHIM 'ALAIHIS SALAM.

Catatan Faidah (12):
KALIMAT TAUHID ﻻإله إﻻالله SENANTIASA ADA PADA ANAK KETURUNAN NABI IBRAHIM 'ALAIHIS SALAM.

Kalimat La ilaha illallah (ﻻإله إﻻالله) inilah yang dimaksudkan oleh Nabi Ibrahim -'alaihis salam- dalam Al Qur'an:
إِنَّنِى بَرَآءٌۭ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱلَّذِى فَطَرَنِى 
"Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku" (QS Az Zukhruf: 26-27)
Ucapan Nabi Ibrahim -'Alaihis salam- ini memuat makna La ilaha illallah. Ucapan "Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah" adalah makna Lailaha (tidak sesembahan yang berhak diibaahi dengan benar). Dan ucapan "tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku" adalah makna 'illallah' (kecuali hanya Allah -yang berhak diibadahi dengan benar).

Nabi Ibrahim 'alihis salam' menjadikan kalimat ini senantiasa ada di keturunannya.
وَجَعَلَهَا كَلِمَةًۢ بَاقِيَةًۭ فِى عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Dan (lbrahim 'alihis salam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu" (Az Zukhruf: 28)
Sehingga pada anak keturunan Ibrahim -'alaihis salam- akan senantiasa ada yang mengucapkan kalimat ini. Mereka saling berwasiat agar senantiasa berpegang teguh dengan kalimat ini turun temurun. Allah ta'ala berfirman:
وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبْرَ‌ٰهِۦمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَـٰبَنِىَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ أَمْ كُنتُمْ شُهَدَآءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ ٱلْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنۢ بَعْدِى قَالُوا۟ نَعْبُدُ إِلَـٰهَكَ وَإِلَـٰهَ ءَابَآئِكَ إِبْرَ‌ٰهِۦمَ وَإِسْمَـٰعِيلَ وَإِسْحَـٰقَ إِلَـٰهًۭا وَ‌ٰحِدًۭا وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ 
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".(Al Baqarah: 132-133)

Anak keturunannya tidak semuanya meninggalkan kalimat ini dan tidak semuanya mensekutukan Allah. Namun senantiasa ada di antara keturunannya yang mengucapkan kalimat ini dan istiqamah dalam menegakkannya, meski jumlah mereka tidak banyak bahkan cuma satu orang saja.

Tatkala Nabi Muhammad -shallallahu 'alaihi wa sallam- diutus menjadi Rasul, beliau pun diutus untuk mendakwahkan kalimat ini. Beliau bersabda:
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan: La ilaha illallah. Jika mereka mau mengucapkannya, maka terjaga darah dan hartanya dariku kecuali dengan haknya (kalimat ini) dan perhitungannya di sisi Allah" (HR Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa'i)

Catatan Faidah (11):LA ILAHA ILLALLAH (لا إله إلا الله) BUKAN SEKEDAR UCAPAN LISAN

Catatan Faidah (11):
LA ILAHA ILLALLAH (لا إله إلا الله)  BUKAN SEKEDAR UCAPAN LISAN

La ilaha illallah (لا إله إلا الله) bukanlah sekedar ucapan lisan tanpa memahami maknanya. Anda hendaknya mempelajari makna kalimat agung ini. Adapun jika anda hanya mengucapkannya saja, tanpa paham maknanya, maka anda tidak mungkin bisa meyakini apa yang dimaksudkan kalimat ini. Bagaimana anda bisa meyakini sesuatu yang tidak anda pahami maksudnya?

Wajib bagi anda untuk mengetahui apa makna kalimat ini sehingga anda bisa meyakini kandungannya. Anda bisa meyakini dengan hati, apa yang anda ucapkan dengan lisan.

Adapun sekedar mengucapkannya saja tanpa paham maksudnya maka ini sia-sia saja.

Demikian pula, tidak sebatas hanya meyakini dalam hati dan mengucapkan dengan lisan, tetapi juga harus menjalankan konsekwensinya dengan memurnikan peribadahan hanya untuk Allah dan meninggalkan segala bentuk peribadahan kepada selain Allah.

Singkatnya, La ilaha illallah (لا إله إلا الله)  adalah kalimat yang mengharuskan untuk diikrarkan, dipahami, dan diamalkan, bukan sekedar diucapkan saja.

Referensi: 
Tafsir kalimat tauhid 

Catatan Faidah (10):KESALAHAN MELAFADZKAN KALIMAT LA ILAHA ILLALLAH

Catatan Faidah (10):
KESALAHAN MELAFADZKAN KALIMAT LA ILAHA ILLALLAH 

Di antara pengikut aliran sufi ada yang melafadzkan kalimat La ilaha illallah tidak dengan sempurna. Mereka tidak mengucapkan La ilaha illallah tapi hanya  "Allah! Allah! Allah!". Mereka menyebut ini sebagai dzikir khos. Mereka mengulang-ulang lafadz ini.
Padahal dzikir ini mestinya dilafadzkan secara sempurna agar maknanya juga sempurna. Adapun lafadz 'Allah! Allah! Allah!' saja maka ini tidak mengandung faidah apa pun.

Bahkan sekelompok lain lebih ekstrem lagi, mereka tidak lagi melafadzkan dengan Allah! Allah! Allah!" tapi cuma dhamir 'Hu!hu!hu!' saja. Dhamir ghaib yang tidak berfaidah apa pun.

Perlu diperhatikan wahai saudaraku, tatkala seorang Muslim mengetahui bahwa La ilaha illallah adalah kalimat tauhid, kalimat Islam yang menjadikan orang-orang suka untuk mengucapkannya dan berdzikir dengannya, maka setan pun tidak tinggal diam. Mereka berusaha memalingkan manusia dari dzikir yang agung ini. Setan membisikinya agar mengucapkan Allah!Allah! Allah! saja atau 'Hu hu hu' saja bahkan ada yang tidak mengucapkannya dengan lisan tapi hanya dalam hatinya.

Ini semua bentuk tipu daya setan dalam mempermainkan manusia agar mereka berpaling dari kalimat penuh berkah ini.
Allahu a'lam 

Referensi:
Tafsir Kalimatu Tauhid

Catatan Faidah (9):LA ILAHA ILLALLAH adalah kalimat PEMBEDA antara MUSLIM dan KAFIR

Catatan Faidah (9):
LA ILAHA ILLALLAH adalah kalimat PEMBEDA antara MUSLIM dan KAFIR

Kalimat La ilaha illallah adalah kalimat yang menjadi pembeda antara kekafiran dan keislaman. Orang yang mengucapkan kalimat ini dengan paham maknanya, mengetahui konsekwensinya maka dia adalah seorang Muslim. 

Namun orang yang enggan mengucapkannya, atau mengucapkannya namun tidak paham maknanya, atau mengucapkannya namun tidak tahu konsekwensinya maka dia belumlah dikatakan muslim, sampai dia paham makna dan konsekwensinya.

Di antara manusia ada yang gemar mengucapkan kalimat ini, baik di pagi maupun petang hari, bahkan membacanya ribuan kali, tapi sayangnya dia juga menyembah selain Allah, berdoa memohon kepada orang yang telah meninggal, beristighasah kepada kuburan, patuh dan taklid buta kepada para guru-guru Thariqah yang mengajarkan ajaran-ajaran yang tidak pernah disyariatkan Allah dan RasulNya. Ajaran thariqah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-  tapi hanya sekedar 'ramuan' ajaran dari para guru-guruNya. Mereka yang mengucapkan kalimat ini di pagi dan petang hari tidaklah berguna dan bermanfaat baginya.


Sumber referensi:
Syarah Tafsir kalimat tauhid 

Catatan Faidah (7):NAMA LAIN KALIMAT LA ILAHA ILLALLAH (لا إله إلا الله) ADALAH KALIMAT IKHLAS URWATUL WUTSQAA

Catatan Faidah (7):
NAMA LAIN KALIMAT LA ILAHA ILLALLAH (لا إله إلا الله) ADALAH KALIMAT IKHLAS URWATUL WUTSQAA

Kalimat La ilaha illallah (لا إله إلا الله) disebut juga kalimat ikhlas, karena menafikkan (meniadakan) kesyirikan dan menetapkan ibadah hanya untuk Allah. Oleh karenanya disebut kalimat ikhlas (pemurnian), yaitu memurnikan tauhid kepada Allah, memurnikan ibadah hanya kepada Allah serta menjauhi kesyirikan.

Kalimat ini juga disebut kalimat taqwa sebagaimana firman Allah ta'ala: 
{ إِذۡ جَعَلَ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ فِی قُلُوبِهِمُ ٱلۡحَمِیَّةَ حَمِیَّةَ ٱلۡجَـٰهِلِیَّةِ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِینَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِینَ وَأَلۡزَمَهُمۡ كَلِمَةَ ٱلتَّقۡوَىٰ وَكَانُوۤا۟ أَحَقَّ بِهَا وَأَهۡلَهَاۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَیۡءٍ عَلِیمࣰا }
"Ketika orang-orang yang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliah, maka Allah menurunkan ketenangan kepada rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin, dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa,dan mereka lebih berhak itu dan patut memilikinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
[Surat Al-Fath: 26]

Kalimat taqwa yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah kalimat La ilaha illallah karena kalimat ini bisa melindungi orang yang mengucapkannya -dengan ikhlas hanya untuk Allah- dari siksa neraka. Dan juga, kalimat ini berkonsekwensi mengerjakan amalan-amalan kebaikan. Sebab, taqwa adalah amal-amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. 

Kalimat ini juga disebut 'urwatul wutsqa (tali yang kuat) sebagaimana firman Allah ta'ala: 

{  فَمَن یَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَیُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِیعٌ عَلِیمٌ }

"Barangsiapa ingkar kepada ṭāgūt dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui".
[Surat Al-Baqarah: 256]

Mengingkari Thaghut (segala yang diibadahi selain Allah) dan beriman kepada Allah inilah makna Lailaha illallah dan konsekwensinya.

Inilah tiga nama kalimat tauhid Lailaha illallah. 

Sabtu, 22 Juni 2024

Catatan Faidah 6: Penjelasan Kalimat Tauhid

Catatan Faidah (6):
KALIMAT LA ILAHA ILLALLAH (لا إله إلا الله)

Kalimat Lailaha illallah adalah kalimat tauhid yang agung, yang ringan diucapkan namun berat ditimbangan pada hari Kiamat kelak. Ini adalah kalimat yang menjadi intisari ajaran Islam.

Namun kalimat ini memiliki makna, memiliki konsekwensi, memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus yang mesti direalisasikan. Seseorang yang mengucapkan kalimat ini namun mengabaikan makna, konsekwensi, rukun serta syarat-syaratnya maka tidak bermanfaat dia mengucapkan kalimat ini.

Makna Lailaha illallah adalah tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah.

Allah ta'ala berfirman:
{ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ }

"Barangsiapa ingkar kepada ṭāgūt dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui". (Al Baqarah: 256)

Mengingkari Thaghut (sesembahan selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah inilah konsekwensi dari kalimat La ilaha illallah. Oleh karenanya kalimat ini juga disebut urwatul wutsqa (tali yang sangat kuat).

Mengingkari segala bentuk peribadahan kepada selain Allah adalah makna la ilaha dan menetapkan peribadahan hanya kepada Allah adalah makna illallah. Ini juga merupakan rukun la ilaha illallah. Meniadakan seluruh sesembahan selain Allah dan menetapkan Allah saja sebagai satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi.

Catatan Faidah 5: Puasa Sunnah Untuk Kafarat Sumpah, Bolehkah?

Catatan Faidah (5):
PUASA KAFARAH SUMPAH

Apakah puasa hari Arafah dan puasa enam hari di bulan Syawal sudah cukup menggantikan puasa kafarah (sumpah)?

Dewan komite fatwa Arab Saudi menjawab:
"Puasa hari Asyura', hari 'Arafah, dan enam hari di bulan Syawal tidak mencukupi untuk menggantikan kafarah sumpah kecuali jika dia niatkan puasa itu untuk membayar kafarah dan tidak (dia niatkan) puasa sunnah"

Fatwa Lajnah Daimah 23/38.

‏هل يجزيء صيام يوم عرفة وستة من شوال عن صيام الكفارة ؟

▪️ قالت اللجنة الدائمة :

لا يجزئ صيام يوم عاشوراء وعرفة وستة من شوال عن كفارة اليمين إلا إذا نوى بصيامها أنه عن الكفارة لا التطوع .

 

📚 اللجنة الدائمة : (23/ 38)

Catatan Faidah 4: Sabar Dalam Menjalani Takdir Allah Yang Tidak Disukai

Catatan Faidah (4):
SABAR TERHADAP TAKDIR-TAKDIR ALLAH YANG TIDAK DISUKAI

Syaikh Ibnu 'Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam syarah Riyadhus Shalihin:
"Hal ini dikarenakan takdir Allah ada dua, ada yang disukai dan yang tidak disukai. Takdir yang disukai hendaknya disyukuri. Syukur adalah bagian dari ketaatan, dan ini termasuk kesabaran jenis pertama (sabar dalam ketaatan kepada Allah). 

Takdir yang tidak disukai manusia, seperti seseorang diuji dengan musibah pada badannya, musibah pada hartanya dengan kehilangan, diuji dengan keluarganya, diuji dengan masyarakatnya dan berbagai macam ujian lainnya yang butuh pada keteguhan. Hendaknya seseorang bersabar dari melakukan yang diharamkan Allah dengan menampakkan keluh kesah melalui ucapan, hati, maupun dengan anggota badan. Kondisi manusia ketika sedang menghadapi musibah ada 4 keadaan: Pertama menampakkan kemarahan (tidak sabar dengan takdir Allah), kedua: bersabar, ketiga: ridha, dan keempat: Bersyukur.

Catatan Faidah 3: Sabar Dalam Menjauhi Larangan Allah

Catatan Faidah (3):
SABAR DALAM MENJAUHI LARANGAN-LARANGAN ALLAH

Syaikh Ibnu 'Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam syarah Riyadhus Shalihin:
Sabar dalam meninggalkan larangan-larangan Allah dengan mengekang nafsunya dari perkara yang diharamkan Allah. Hawa nafsu senantiasa memerintahkan dan mengajak kepada keburukan. Hendaknya seseorang berusaha sabar mengekang nafsunya. Semisal berdusta, curang dalam mu'amalah, mengambil harta dengan cara yang tidak benar, baik dengan riba atau selainnya, melakukan zina, minum khomer, mencuri, dan berbagai macam maksiat lainnya. Seseorang menahan dirinya untuk tidak melakukannya. Dan ini juga butuh kesabaran dan butuh menahan hawa nafsunya.

catatan Faidah 2 : Sabar Dalam Ketaatan

Catatan Faidah (2):
SABAR DALAM KETAATAN

Syaikh Ibnu 'Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam syarah Riyadhus Shalihin:

Sabar dalam ketaatan kepada Allah adalah sesuatu yang memberatkan jiwa dan menyulitkan insan. Adakalanya memberatkan badan ketika seseorang mengalami kelemahan dan keletihan. Terkadang memberatkan dari segi finansial, semisal zakat dan haji.

Jadi, dalam ketaatan ada sesuatu yang memberatkan, baik jiwa maupun raga. Oleh karenanya dibutuhkan kesabaran.

Allah ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung" (QS Ali Imron: 200)

Catatan Faidah 1: Definisi Sabar

Catatan Faidah (1)

Sabar (as Shobr) secara bahasa maknanya adalah Al habs (menahan).

Adapun sabar secara syariat maknanya adalah menahan diri (bersabar) terhadap tiga hal:
Pertama:  Sabar dalam menjalani ketaatan kepada Allah.
Kedua: Sabar dalam menjauhi hal-hal yang dilarang Allah.
Ketiga: Sabar atas ketetapan takdir Allah yang tidak disukai.

Inilah tiga kesabaran yang disebutkan oleh para ulama.